SAHABAT HEWAN HUTAN
Karya Fikri Adhitiya

‘kresek, kresek’ aku berlari sekuat tenagaku. Gelapnya hutan dan rindangnya pepohonan tidak kuhiraukan siang itu. Sesekali aku menengok ke belakang, takut penjarah yang aku ambil buruannya tadi mengejarku. Namun, setelah aku berhenti dan menengok ke belakang, kulihat suasana sudah hening. Mungkin, ia sudah bosan mengejarku dan mengikhlaskan buruannya.

###

Pagi tadi, aku dan teman-temanku baru bangun. Satu persatu kami keluar dari tenda setelah melewati tidur nyenyak kami di Bhumi Perkemahan Angling Darmo ini. Tempat ini sangat cocok untuk berkemah, karena tempatnya yang masih asri dan bersih. Menginap memang adalah hobiku, apalagi menginap di tengah alam seperti ini. Tempat ini masih jarang dikunjungi, karena letaknya yang berada di sisi hutan.

Saat itu, kami bangun dalam keadaan lapar. Semalaman kami menginap di tempat ini dan perut kami belum terisi dengan suatu apapun. Baru kemaren sore kami datang, langsung mendirikan tenda dan tak ada waktu untuk memasak makanan karena keletihan kami.

Cerpen, Cerita Pendek, Cerpen Petualangan, Cerpen Zona Siswa.
Cerpen: Sahabat Hewan Hutan Karya Fikri Adhitiya

“Gimana nih Den ? Aku laper banget nih”. Kata wahyu padaku saat aku sedang mencuci muka. Wahyu adalah teman karibku sejak SD. Entah kenapa, dari dulu sampai sekarang kami sangat sulit dipisahkan. Meskipun sekarang, kami sudah ada di Universitas yang berbeda di kota ini.
“Ya sama bos, kamu pikir kamu aja yang kelaparan, aku juga. Semalaman kita nginep, dan belum makan sedikit pun. Kacang sebiji aja belum”. Jawabku pada teman konyolku ini. Kami sebenarnya ada banyak bahan makanan. Tapi bodohnya, kami lupa tidak membawa kompor lapangan.
“Ya udah deh, kita bagi tugas aja. Aku bakal mencari kayu bakar. Wahyu, tolong kamu telusuri sungai ini, cari airnya yang agak  jernih, terus ambil air minimal dua ember. Angga, kamu jaga tenda, kalau Wahyu balik bawa air, kamu langsung rebus airnya”. Jelasku pada mereka.
“Okelah, daripada seharian kita nggak makan disini. Niat kita kan seneng-seneng, masak kita mau mati kelaparan di sini”. Jawab Angga padaku. Aku yakin dengan pembagian tugas sepperti ini, kita bisa segera menyelesaikan tugas kita,, dan cepat-cepat makan.
“Ya sudahlah, mendingan kita cepet berangkat. Daripada kita kelamaan nganggur di sini. Perutku juga sudah lapar banget. Sampai-sampai hampir sulit berdiri aku”. Jawab Wahyu.
“Lebay banget kamu, masak nggak makan satu  malam aja sampai nggak bisa berdiri. Ingat ! Kemarin yang makan paling banyak di rumahku itu kamu, masak nggak merasa”. Sedikit candaan Angga yang sedikit mewarnai hidup kami hari ini.

Candaan sudah seperti hal wajib bagi kami. Setiap kami bertiga menjadi satu dalam suatu perkumpulan atau suatu tempat, kami tidak akan melupakan satu hal ini. Namun, itulah yang sebenarnya seorang sahabat sejati. Sahabat yang akan senantiasa menghibur kita, dan mewarnai hidup kita dengan tawa.

Setelah beberapa lama kami bercanda, kami memutuskan untuk segera berangkat mencari apa yang seharusnya kami cari. Aku langsung berjalan sambil menengok kebawah, berharap bisa menemukan kayu bakar di tempat yang tidak terlalu jauh. Sedangkan Wahyu pergi dengan cepat mengikuti arah datangnya air sungai.

Sudah jauh aku berjalan, tapi aku belum juga menemukan sebatang pun kayu bakar. Yang aku temukan hanyalah kayu-kayu yang lembab tan lapuk. Sampai aku tidak sadar aku masuk ke dalam hutan. Aku melihat sekeliling, aku lihat keadaan sudah tidak seperti saat di Perkemahan. Pohon-pohon semakin tinggi dan semakin lebat.

Aku tidak peduli dengan keadaan yang aku alami saat ini. Aku sudah menandai jalan pulang. Jadi, kemungkinan untukku tersesat  sangat kecil. Aku tidak ingin mengecewakan teman-temanku. Aku takut, saat mereka sudah siap dengan airnya, aku belum kembali membawa kayu bakar.

Aku meneruskan pencarianku, aku masuk terus ke dalam hutan. Sambil aku perjalan, aku menandai batang-batang pohon dengan sedikit sesetan  agar nantinya mudah untukku kembali ke arah jalan ke perkemahan. Satu dua pohon aku tandai, tapi aku belum juga memdapatkan cukup kayu bakar untuk dibawa.

Sampai aku sampai pada suatu tempat. Dimana keadaannya masih sangat asri dan rindang. Aku agak ragu untuk meneruskan perjalananku. Aku lihat jam tanganku dan menunjukan angka pukul delapan. Aku bingung, aku takut teman-temanku masih menungguku di perkemahan sana.

Di sinilah aku agak bisa bernafas lega. Banyak terlihat kayu-kayu yang masih kering menyembul dari tanah. Aku sedikit bingung, mengapa bisa kayu-kayu ini menancap di tanah dengan sangat rapi ? tapi aku tidak perduli. Aku mencoba mencabut salah satu dari batang itu.

Setelah aku cabut, aku sangat kaget. Batang itu terhubung dengan tali-tali yang aku tidak paham apa tujuannya. Mengapa bisa ada hal seperti ini di tangah hutan yang lebat ini ? Pertanyaan demi pertanyaan berdengung di kepalaku. Aku masih kurang paham dengan keadaan ini.

Aku mencoba terus menyelidiki tali itu, sampai akhirnya tali itu tersambung sedikit rumit dengan kayu-kayu lain. Aku terus mengusut tali itu, sampai akhirnya aku melihat dari arah yang agak jauh, seekor anak kijang sedang terjerat dengan tali yang aku angkat.

Aku cepat berlari ke arah anak kijang itu. Aku tidak paham, apakah kijang itu termasuk hewan yang dilindungi atau tidak. Namun yang aku tahu, bahwa anak kijang itu sedang kesakitan. Hal itu bisa dilihat dari kakinya yang berdarah-darah terkena jerat yang aku temukan tadi.

Aku mencoba melepas jeratnya, tapi jerat itu benar-benar kuat dengan ikatan yang membentuk simpul yang sangat rumit. Aku masih berusaha mencopot jeratnya. Setelah merasa gagal mencopot dengan cara biasa, aku berusaha memotongnya, tapi itu juga sia-sia.

Setelah sekian lama aku mencoba, di akhir perjuangan aku berhasil mencopotnya. Aku berhasil mencopotnya dengan cara menumbuk tali itu perlahan-lahan dengan batu yang lancip. Setelah anak kijang itu terbebas, dia tidak bisa bergerak. Aku berpikiran untuk mengambil kotak P3K di tenda. Namun, sebelum aku merealisasikan pikiranku, seorang berteriak dari kejauhan.

“Hei ! siapa di sana ! Lihat saja kalau kau berani melepaskan buruanku !”. Dia berteriak dari arah kejauhan dan berlari cepat menuju kearahku. Aku tidak bisa berpikir panjang. Antara sadar dan tidak sadar, aku membopong anak kijang itu dan membawanya lari kembali ke perkemahan.

Aku terus berlari, berusaha agar orang tadi bisa kehilangan jejakku. Aku tidak perduli dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedikit menengok jam tanganku, dan tak sadar sekarang sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Aku sudah tidak terpikir, seperti apa keadaan taman-teman di tenda.

Setelah sekian lama aku berlari aku kira aku sudah jauh dari pemburu itu. Saat itu pulalah aku sadar kalau aku sudah masuk ke hutan terlalu dalam. Aku mencari tanda yang aku buat. Setelah sekian lama aku berjalan, barulah aku menemukan salah satu tandaku yang ada di batang pohon. 

Bersamaan dengan aku menemukan tanda itu, aku mendengar seseorang berteriak dengan sangat keras dari arah kejauhan. Aku kenal betul suara itu dari pemburu. Aku takut itu hanya jebakan. Tapi, aku juga tidak bisa membiarkan pemburu itu berteriak-teriak pilu seperti ini.

Aku menaruh anak kijang itu di sisi tanda yang pertama aku temukan. Perlahan-lahan aku mengikuti suara itu. Dengan memasang baik-baik pendengaranku, aku mengikuti arah asal suara itu. Perlahan, aku mencarinya, sambil mamastikan kalau pemburu itu tidak sedang menjebakku.

Beberapa ratus meter aku berjalan, aku melihat pemburu itu sedang berguling-guling kesakitan. Setelah aku melihat kejadian ini, aku baru bisa memastikan kalau dia tidak sedang berbohong. Aku berlari kearahnya, berharap aku tidak terlambat menolongnya.

Setelah aku berdiri di sisinya, aku baru paham mengapa ia berteriak kesakitan. Terlihat di sana ia menjerit dengan memegangi tangan kirinya. Aku mencoba membuka cengkraman tangan kanannya, terlihat di tangan kirinya ada bekas gigitan ular. Aku celingukan mencari apakah ular itu masih di sini. Tapi, aku tidak menemukan seekor ular di sekitar ia berbaring.

Aku mencermati bekas gigitan ular itu. Setelah aku mencermatinya, aku benar-benar yakin kalau yang menggigitnya adalah ular beracun. Karena dari dua lubang bekas gigitan itu terluhat disekitarnya sudah mulai membiru. Aku bingung, karena kebanyakan ular memiliki bisa yang mematikan dan bisa membunuh orang dewasa dalam waktu beberapa menit saja.

Dalam kasus seperti ini, aku paham aku tidak boleh panik. Aku harus menenangkannya dan berfikir cerdas untuk menyelesaikan masalah ini. Saat itulah, aku mulai dapat sedikit ide yang mungkin masih bisa menyelamatkan pemburu ini dari kematian.

Aku berlari kearah dimana ia tadi memasang jebakan. Aku mencabut beberapa utas tali yang terdapat pada batang-batang kayu yang menancap tadi. Aku membawanya, dan berlari ke arah pemburu tadi. 

Saat inilah, pengetahuanku tentang PMR berguna. Aku mengikat pangkal dari tangannya agar nantinya racun yang masuk dalam tubuhnya tidak sampai ke jantung. Aku menyuruhnya untuk mengangkat tangannya tinggi-tinggi melebihi tinggi badannya. 

Tubuhnya mulai meriang, dia menggigil seperti orang kedinginan. Aku membopongnya kea rah Bumi Perkemahan, berharap aku masih bisa menyelamatkannya dari kematiannya yang mungkin sudah di depan mata. Sembari berharap, semoga ular yang menggigitnya bukanlah ular yang bisanya berbahaya.

Sesampainya di Perkemahan, aku melihat kedua temanku sudah menunggu di sana. Aku paham kalau mereka sangat kesal. Hal itu bisa dilihat dari raut muka meraka yang kuperhatikan dari jauh.

Namun, raut mata mereka berubah ketika aku muncul di hadapan mereka sambil membopong orang yangb lemah ini. Mereka langsung bangkit dari tempat mereka duduk dan menghampiriku untuk membantu membopong pemburu ini ke dekat tenda. 

“Wahyu ! Tolong ambilkan air yang kau ambil tadi ! taruh di baskom lalu bawa kemari !”. Pintaku pada Wahyu untuk mencuci luka pemburu ini dengan air. Lalu, aku mengambil sabun dan membersihkan bekas luka dari pemburu itu. Namun aku paham, kalau hal itu tidak cukup untuk antisipasi penyelamatannya dari kematian.

Mukanya semakin memerah dan dia semakin menggigil. Aku bingung, aku sudah tidak bisa tenang saat ini. Aku tidak bisa benar benar menyembuhkannya. Aku hanya bisa memberikan langkah antisaipasi agar racun itu tidak semakin menyebar ke seluruh tubuhnya.

Kami tidak bisa membawanya ke dokter, karena kami datang kemari melewati jalur pendakian dan tidak membawa alat transportasi. Sebenarnya tempat ini bisa ditempuh menggunakan mobil. Tapi, saat menggunakan mobil, kami harus menempuh jarak yang lebih jauh memutari gunung.

Saat di tengah kebingungan itu, Angga berlari cepat ke arah yang kami tidak ketahui. Ia pergi begitu saja tanpa meniggalkan sepatah kata pun pada kami. Kami harap itu hal baik. Kami tidak berharap ia ketakutan, lalu pergi meninggalkan kami bersama dengan pemburu yang terluka ini.

Tak lama setelah pergi, ia kembali dengan membawa sebuah mobil. “Cepat ! Masukkan dia kedalam mobil ! Aku bersama dengan orang-orang ini akan membawanya ke rumah sakit. Kalian di sini saja, jaga peralatan kita agar tidak hilang !” Teriaknya dari dalam mobil. Terlihat di sana ada beberapa orang yang duduk di tempat duduk tengah.

Setelah kami memasukkan pemburu itu, ia langsung pergi dengan cepat bersama dengan mobil dan orang-orang itu. Kami hanya bisa duduk dan menunggu kabar dari Angga. Kami masih belum kuasa untuk membereskan peralatan kami, sebelum Angga memberikan kabar pada kita.

Setelah beberapa saat, Angga meneleponku. Aku segera menjawabnya, berharap kabar baiklah yang akan kudengar nantinya. “Den, orangnya nggak sadarkan diri. Setelah diperiksa, racun sudah hampir keseluruh tubuhnya. Untungnya, bisanya tida terlalu beracun sehingga tidak membunuhnya. Tapi, dia harus dirawat inap untuk sementara”. Telpon dari Angga sedikit membuatku lega.  

Setelah mendapat kabar dari Angga, aku dan Wahyu segera membereskan tenda dan peralatan kami. Setelah itu kami menghubungi polisi terdekat, agar pihak kepolisian bisa mengembalikan pemburu itu pada keluarganya dan memberinya sedikit hukuman karena telah memburu di Bumi Perkemahan ini secara ilegal.

Profil Penulis:
Nama: Fikri Akhmad Adhitiya

Bagi teman-teman yang mempunyai suatu tulisan unik tentang apa saja, ataupun puisi, cerpen, cergam, pantun, bahkan profil sekolah/guru favorit; dan ingin dibagikan ke teman-teman lainnya melalui mading zona siswa, silahkan saja kirim karya kalian di Mading Zona Siswa. Karya kalian nantinya akan ditampilkan di mading kami dan akan dibaca oleh ribuan pengunjung lainnya setiap hari. Ayoo kirim karya kalian di mading Zona Siswa. Terima kasih… ZONA SISWA | Ikut Mencerdaskan Bangsa